Kalimat yang mengandung kata “kalau” dalam kehidupan sehari-hari seringkali dianggap implikasi dua arah (bi-implikasi), bukan sekadar implikasi satu arah. Sebagai contoh, kita sering mendengar percakapan seperti ini.
“Kalau ntar malam ngga hujan, kita jalan-jalan ke Alun-Alun yuk!”
“Kalau hujan, bagaimana?”
“Ya ngga jadi jalan-jalannya!”
“Oh, oke deh…”
Dalam bahasa matematika, kalimat pertama di atas kira-kira setara dengan “Kita jalan-jalan ke Alun-Alun nanti malam jika dan hanya jika nanti malam tidak hujan ya.” Tapi kok ngeri amat ya kalau kita berkata-kata seperti itu di antara sesama teman.
Matematikawan memang punya logika yang berbeda dengan logika sehari-hari. Doni, mahasiswa matematika, berjanji kepada Dona, mahasiswi non-matematika: “Kalau nanti malam hujan, Aku ngga akan main ke rumahmu ya”. Ternyata, malam itu tidak hujan, dan Doni tidak datang ke rumah Dona. Malam itu juga, Dona menelepon Doni: “Kok kamu ngga main ke rumahku? Malam ini kan cerah, ngga ada hujan setetes pun?” Tanpa merasa bersalah, Doni menjawab: “Aku kan tidak berjanji apa-apa kalau malam ini tidak hujan!”
*
Bandung, 17-11-2017
Terimakasih pak Hendra, semakin saya mencintai matematika.
LikeLike