Memahami kalimat yang mengandung kata ‘tidak’, ‘belum’, atau ‘bukan’ seringkali tidak mudah. Apalagi penempatan kata ‘tidak’, ‘belum’, atau ‘bukan’ dalam suatu kalimat dapat mempengaruhi arti kalimat tersebut.
Beberapa tahun silam, saya pernah membaca sebuah spanduk (di dekat sebuah rumah sakit di Bandung) yang bertuliskan: TIDAK MEROKOK ITU SEHAT. Seketika itu juga saya bertanya dalam hati: apa maksud kalimat tersebut? Apa bedanya dengan kalimat MEROKOK ITU TIDAK SEHAT?
Dalam kalimat TIDAK MEROKOK ITU SEHAT, subjeknya adalah TIDAK MEROKOK, dan predikatnya adalah SEHAT. Sementara itu, dalam kalimat MEROKOK ITU TIDAK SEHAT, subjeknya adalah MEROKOK, dan predikatnya adalah TIDAK SEHAT. Jadi, dari anatomi kalimatnya saja, kedua kalimat tersebut berbeda. Arti mereka tentu berbeda juga.
Kalimat dengan susunan S-P (Subjek-Predikat) sebetulnya merupakan kalimat yang sederhana. SAYA LAPAR, misalnya. Bila saya ingin menyangkal kalimat ini, bahwa SAYA LAPAR salah, apa kalimatnya? Apakah BUKAN SAYA (yang) LAPAR atau SAYA TIDAK LAPAR? Tentu saja kalimat yang kedua, ya kan?
Negasi dari kalimat S-P adalah S-P’, dengan P’ menyatakan ‘tidak P’ atau ‘bukan P’. Jadi subjeknya tetap S, sementara predikatnya menjadi P’.
Nah, bila kalimat MEROKOK ITU SEHAT salah, kalimat MEROKOK ITU TIDAK SEHAT mestilah benar. Menurut saya, spanduk tadi seharusnya berbunyi MEROKOK ITU TIDAK SEHAT — karena itu janganlah merokok, kira-kira begitu seruan dari pemasang spanduk tersebut.
Sementara itu, kalau kita sangkal kalimat TIDAK MEROKOK ITU SEHAT, kita peroleh kalimat TIDAK MEROKOK ITU TIDAK SEHAT, sebuah kalimat ‘double negative‘.
Memang sih, kalau TIDAK MEROKOK ITU SEHAT dianggap benar, spanduk itu juga menyerukan agar kita tidak merokok. Tetapi benarkah orang yang tidak merokok itu sehat? Bagaimana bila ia mempunyai kebiasaan lain, katakanlah makan makanan berlemak secara berlebihan?
Ah sudahlah… diskusinya nanti ke mana-mana. Kalimat sehari-hari kadang memang tidak logis.
*
Bandung, 10-11-2017
Itu lah kenapa manusia butuh belajar logika
LikeLike